pembahasan ISIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ISIS sebelumnya
adalah bagian dari Al-Qaidah. Dibawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi
ISIS sempat menyatakan diri bergabung dengan Front Al Nusra, kelompok yang
menyatakan diri sebagai satu-satunya afiliasi Al-Qaidah di Suriah. Namun karena metode ISIS/ISIL dianggap bertentangan dengan Al-Qaidah
lantaran telah berbelok dari misi perjuangan nasional dengan menciptakan perang
sektarian di Irak dan Suriah, ISIS dianggap tidak lagi sejalan dengan Al-Qaidah. Sebagai
balasannya, Front Al-Nusra lalu melancarkan serangan perlawanan terhadap
ISIS/ISIL guna merebut kembali kontrol atas Abu Kamal, wilayah timur Suriah
yang berbatasan dengan Irak. Namun karena kebrutalan dan ambisi dari ISIS
yang tidak segan melakukan penyiksaan bahkan pembunuhan terhadap para
penentangnya, ISIS bisa menguasai sebagian besar wilayah Irak. Bahkan dibawah
kepemimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi ISIS mendeklarasikan Negara Islam di
sepanjang Irak dan Suriah dan juga menyatakan Al-Baghdadi akan menjadi pemimpin
bagi umat muslim di seluruh dunia.[1]
Pada 15 Mei 2010
diangkatlah pemimpin baru yaitu Abu Bakar Al-Baghdadi untuk menggantikan Abu
Umar Al Baghdadi yang telah meninggal. Seiring dengan Revolusi di Jazirah Arab
yang dikenal dengan Musim Semi Arab dalam
menumbangkan para diktator seperti yang terjadi di Tunisia, Libya dan Mesir,
maka terjadi pula revolusi di Suriah, hanya saja demonstrasi rakyat di Suriah disambut
dengan kekerasan dari Tentara Presiden Bashar Assad. Akibatnya Rakyat
Suriah melakukan perlawaan dalam kelompok-kelompok bersenjata.
Kelompok-kelompok ini dibantu oleh para pejuang dari luar negeri termasuk dari
Negara Islam Irak. Dan ketika kelompok-kelompok pejuang rakyat Suriah ini
akhirnya mampu membebaskan beberapa kota termasuk wilayah perbatasan dengan
Irak maka menyatulah beberapa kota di Irak dan di Suriah dalam kontrol Negara
Islam Irak.[2]
Dengan demikian,
melihat kondisi seperti ini kekhawatiran terjadi di kalangan masyarakat dunia
akan pergerakan yang dilakukan ISIS ini terhadap syariat Islam yang keliru
bahkan sesat. Sehingga bayak para ulama yang menyatakan bahwa ISIS ini bukan
gerakan jihad yang sah yang sesuai dengan syari’at Islam yng sesungguhnya.
B.
Rumusan Masalah
Dari
beberapa hal yang telah diungkapkan dalam latar belakang di atas
didapatkan suatu rumusan masalah:
1. Apakah ISIS itu?
2.
Bagaimana ideologi dan kepercayaannya?
3.
Bagaimana sejarah ISIS lahir?
4.
Apa tujuan pergerakan ISIS?
5.
Bagaimana pandangan ulama jihad terhadap ISIS?
6.
Bagaimana pendapat Majelis Intelektual dan Ulama Muda
Indonesia terhadap gerakan jihad ISIS?
7. Bagaimana pula
pandangan filsafat ilmu terhadap ISIS?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah
ISIS itu?
2. Untuk mengetahui bagaimana
ideologi dan kepercayaannya?
3. Untuk mengetahui bagaimana
sejarah ISIS lahir?
4. Untuk mengetahui apa
tujuan pergerakan ISIS?
5. Untuk mengetahui agaimana
pandangan ulama jihad terhadap ISIS?
6. Untuk mengetahui bagaimana
pendapat Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia terhadap gerakan
jihad ISIS? serta
7. Untuk mengetahui bagaimana
pula pandangan filsafat ilmu terhadap ISIS?
BAB II
PEMBAHASAN
Aliran ISIS (The Islamic State of Iraq and
Syiria)
A. Pengertian ISIS (The
Islamic State of Iraq and Syiria)
Negara Islam Irak dan Syam (disebut juga ISIS, singkatan dari
nama Bahasa Inggris-nya the
Islamic State of Iraq and Syria, dalam Bahasa Arab: الدولة
الاسلامية في العراق والشام al-Dawlah al-Islāmīyah fī al-ʻIrāq wa-al-Shām) juga dikenal sebagai Negara Islam[3] (bahasa Inggris: Islamic
State (IS) bahasa Arab: الدولة الإسلامية ad-Dawlah
al-ʾIslāmiyyah), dan Negara Islam Irak dan
Levant (bahasa Inggris: Islamic
State of Iraq and the Levant (ISIL))
adalah sebuah negara dan kelompok militan jihad yang tidak diakui di Irak danSuriah. Kelompok ini dalam bentuk aslinya terdiri
dari dan didukung oleh berbagai kelompok pemberontak Sunni, termasuk
organisasi-organisasi pendahulunya seperti Dewan Syura Mujahidin dan Al-Qaeda di Irak (AQI),
termasuk kelompok pemberontak Jaysh al-Fatiheen, Jund al-Sahaba, Katbiyan Ansar
Al-Tawhid wal Sunnah dan Jeish al-Taiifa al-Mansoura, dan sejumlah suku Irak yang mengaku Sunni.[4]
ISIS dikenal karena memiliki interpretasi
atau tafsir yang keras pada Islam dan kekerasan brutalseperti bom bunuh diri, dan menjarah bank.[5]
Target serangan ISIS diarahkan terutama terhadap Muslim Syiah dan Kristen.[6]
Pemberontak di Irak dan Suriah ini telah menewaskan ribuan orang. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan lebih dari 2.400 warga Irak yang mayoritas
warga sipil tewas sepanjang Juni 2014. Jumlah korban tewas ini merupakan yang
terburuk dari aksi kekerasan di Irak dalam beberapa tahun terakhir. Aksi Negara
Islam Irak dan Suriah (ISIS) ini telah menyebabkan tak kurang dari 30.000 warga
kota kecil di timur Suriah harus mengungsi.[7]
Tokoh Sentral di Balik Militan ISIS adalah
Abu Bakar al-Baghdadi. Di bawah kepemimpinannya, ISIS menyatakan
diri untuk bergabung dengan Front Al Nusra, kelompok yang menyatakan diri
sebagai satu-satunya afiliasi Al-Qaidah di Suriah. ISIS memiliki hubungan dekat dengan Al-Qaeda hingga tahun 2014. Namun karena misi berbelok
dari misi perjuangan nasional dengan menciptakan perang sektarian di Irak dan Suriah dan penggunaan aksi-aksi kekerasan, Al-Qaidah lalu tidak mengakui kelompok ini sebagai
bagian darinya lagi. Abu Bakar al-Baghdadi bahkan bersumpah untuk
memimpin penaklukan Roma, yaitu ibukota agama Nasrani-Katolik, tepatnya Kota
Vatikan yang terletak di tengah kota Roma, Italia. Pemimpin militan ISIS Abu
Bakar al-Baghdadi ini juga menyerukan umat Islam untuk tunduk kepadanya.[8]
B.
Ideologi dan Kepercayaan
ISIS adalah kelompok
ekstremis yang mengikuti ideologi garis keras Al-Qaidah dan menyimpang
dari prinsip-prinsip jihad.[9] Seperti
al-Qaeda dan banyak kelompok jihad modern lainnya, ISIS muncul dari
ideologi Ikhwanul Muslimin, kelompok Islam
pertama di dunia pada tahun 1920-an di Mesir. ISIS mengikuti ekstrim
anti-Barat yang menurutnya sebagai penafsiran Islam, mempromosikan kekerasan
agama dan menganggap mereka yang tidak setuju dengan tafsirannya sebagai kafir dan murtad. Secara bersamaan,
ISIS (sekarang IS) bertujuan untuk mendirikan negara Islam Salafi yang berorientasi di Irak, Suriah dan bagian lain dari Syam.[10]
Ideologi ISIS berasal
dari cabang Islam modern yang bertujuan untuk kembali ke masa-masa awal Islam,
menolak "inovasi" dalam agama yang mereka percaya telah
"korup" dari semangat aslinya. Mereka mengutuk kekhalifahan terakhir
dan kekaisaran Utsmaniyah (Ottoman Empire; sekarang Republik Turki) karena
menyimpang dari apa yang mereka sebut sebagai Islam murni dan karenanya telah
berusaha untuk membangun kekhalifahan sendiri. Namun, ada beberapa
komentator Sunni, Zaid Hamid, misalnya, dan
bahkan Salafi dan mufti jihad
seperti Adnan al-Aroor dan Abu Basir al-Tartusi, yang mengatakan
bahwa ISIS dan kelompok teroris yang terkait tidak mempresentasikan Sunni sama
sekali, tapi menuduh Khawarij bid’ah yang
melayani agenda kekaisaran anti-Islam.[11]
Salafi seperti ISIS
percaya bahwa hanya otoritas yang sah dapat melakukan kepemimpinan jihad, dan
bahwa prioritas pertama atas pertempuran di daerah lain, seperti berperang melawan
negara-negara non-Muslim, adalah sebagai pemurnian masyarakat Islam. Misalnya,
ketika memandang konflik Israel-Palestina, karena ISIS
menganggap kelompok Sunni Palestina Hamas sebagai murtad yang tidak memiliki kewenangan yang sah untuk memimpin
jihad, mereka anggap melawan Hamas sebagai langkah pertama sebelum menuju
konfrontasi dengan Israel.[12]
C. Sejarah ISIS
ISIS sebelumnya
adalah bagian dari Al-Qaidah. Dibawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi
ISIS sempat menyatakan diri bergabung dengan Front Al Nusra, kelompok yang
menyatakan diri sebagai satu-satunya afiliasi Al-Qaidah di Suriah. Namun karena metode ISIS/ISIL dianggap bertentangan dengan Al-Qaidah
lantaran telah berbelok dari misi perjuangan nasional dengan menciptakan perang
sektarian di Irak dan Suriah, ISIS dianggap tidak lagi sejalan dengan Al-Qaidah. Sebagai
balasannya, Front Al-Nusra lalu melancarkan serangan perlawanan terhadap
ISIS/ISIL guna merebut kembali kontrol atas Abu Kamal, wilayah timur Suriah
yang berbatasan dengan Irak. Namun karena kebrutalan dan ambisi dari ISIS
yang tidak segan melakukan penyiksaan bahkan pembunuhan terhadap para
penentangnya, ISIS bisa menguasai sebagian besar wilayah Irak. Bahkan dibawah
kepemimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi ISIS mendeklarasikan Negara Islam di
sepanjang Irak dan Suriah dan juga menyatakan Al-Baghdadi akan menjadi pemimpin
bagi umat muslim di seluruh dunia.[13]
Pada 15 Mei 2010
diangkatlah pemimpin baru yaitu Abu Bakar Al-Baghdadi untuk menggantikan Abu
Umar Al Baghdadi yang telah meninggal. Seiring dengan Revolusi di Jazirah Arab
yang dikenal dengan Musim Semi Arab dalam
menumbangkan para diktator seperti yang terjadi di Tunisia, Libya dan Mesir,
maka terjadi pula revolusi di Suriah, hanya saja demonstrasi rakyat di Suriah
disambut dengan kekerasan dari Tentara Presiden Bashar Assad. Akibatnya Rakyat
Suriah melakukan perlawaan dalam kelompok-kelompok bersenjata.
Kelompok-kelompok ini dibantu oleh para pejuang dari luar negeri termasuk dari
Negara Islam Irak. Dan ketika kelompok-kelompok pejuang rakyat Suriah ini
akhirnya mampu membebaskan beberapa kota termasuk wilayah perbatasan dengan
Irak maka menyatulah beberapa kota di Irak dan di Suriah dalam kontrol Negara
Islam Irak.[14]
ISIS dianggap lebih
berbahaya ketimbang Al-Qaidah karena
mempunyai ribuan personel pasukan perang, yang siap mendeklarasikan perang
terhadap mereka yang dianggap bertentangan atau menentang berdirinya negara
Islam. Mereka menjadi kekuatan politik baru yang siap melancarkan serangan yang
jauh lebih brutal daripada Al-Qaidah. Gerakan revolusi
yang mulanya mempunyai misi mulia untuk menggulingkan rezim otoriter ini
berubah menjadi tragedi. ISIS menjadi sebuah kekuatan baru yang siap
melancarkan perlawanan sengit terhadap rezim yang berkuasa yang dianggap tidak
mampu mengemban misi terbentuknya negara Islam. Ironisnya, mereka mengabsahkan
kekerasan untuk menindas kaum minoritas dan menyerang rezim yang tidak sejalan
dengan paradigma negara Islam. ISIS menjadi kekuatan politik riil dengan
ideologi yang jelas dan wilayah yang diduduki dengan cara-cara kekerasan.[15]
D. Tujuan ISIS
Dari awal sampai pada
pembentukan negara Islam murni telah
menjadi salah satu tujuan utama dari ISIS. Menurut wartawan Sarah Birke,
salah satu "perbedaan yang signifikan" antara Front Al-Nusra dan ISIS adalah
bahwa ISIS "cenderung lebih fokus pada membangun pemerintahan sendiri di
wilayah yang ditaklukkan". Sementara kedua kelompok berbagi ambisi untuk
membangun sebuah negara Islam, ISIS dengan "jauh lebih kejam ... melakukan
serangan sektarian dan memaksakan hukum syariah secara segera". ISIS
akhirnya mencapai tujuannya pada tanggal 29 Juni 2014, ketika itu dihapus
"Irak dan Levant" dari namanya, dengan mulai menyebut dirinya sebagai
Negara Islam, dan menyatakan wilayah okupasi di Irak dan Suriah sebagai kekhalifahan baru.[16]
Pada tanggal 4 Juli
2014, Persatuan Ulama Muslim Se-Dunia (IUMS), yang dipimpin oleh
Syaikh Yusuf Qaradhawi, mengeluarkan
pernyataan bahwa deklarasi khilafah yang dilakukan ISIS untuk wilayah di Irak
dan Suriah tidak sah secara syariah Islam.[17]
Pada pertengahan
2014, kelompok ini merilis sebuah video berjudul "The End of
Sykes-Picot" berbahasa Inggris kebangsaan Chili bernama Abu Safiya.
Video ini mengumumkan niatan kelompok ini untuk menghilangkan semua perbatasan
modern antara negara-negara Islam Timur Tengah, khususnya mengacu pada
perbatasan yang ditetapkan oleh Perjanjian Sykes-Picot selama Perang Dunia I.[18]
E. Pandangan Beberapa Ulama Jihad Terhadap ISIS
Kewajiban jihad tetap akan berlangsung hingga hari akhir, dan pada hari ini
jihad merupakan fardhu ‘ain (kewajiban setiap muslim) menurut kemampuan
masing-masing.
Namun demikian, jihad memiliki kaidah-kaidah, pedoman-pedoman, serta
aturan-aturan. Hukumnya pun bisa berbeda-beda. Begitu pula dengan lawan, yang
dalam jihad juga harus teridentifikasikan secara jelas. Perang dapat diarahkan
kepada pihak-pihak yang menurut syari’at diperbolehkan untuk dilancarkan, bukan
asal disebut musuh. Yang jelas, tidak setiap perlawanan yang dimobilisasi atau
terorganisir bisa disebut jihad.
Sebagaimana amalan-amalan lain dalam Islam, jihad juga merupakan amalan
syar’i, dan merupakan salah satu ibadah paling afdhal (utama). Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah ditanya : “Amal perbuatan apakah yang paling
afdhal?”. Beliau menjawab :”Iman kepada Allah dan RasulNya.” (Dalam
riwayat Muslim, tanpa “RasulNya”). Ditanyakan lagi kepada Beliau : “Kemudian
apa?”. Beliau bersabda :”Jihad di jalan Allah”. Beliau ditanya lagi
: “Kemudian apa?”. Beliau bersabda : ”Haji yang mabrur”.
(Muttafaq ‘Alaih).
Jika demikian halnya, maka jihad memiliki ketentuan-ketentuan yang
rujukannya adalah syari’at Allah, bukan hawa nafsu, dan bukan pemaksaan
kehendak dari kelompok tertentu manapun.
Jihad bukan persoalan sederhana yang hanya membutuhkan keberanian dan tidak
takut mati. Jihad adalah ibadah yang memiliki konsekuensi hukum amat luas dan
beresiko tinggi, bahkan bisa fatal.
Jika sasarannya orang-orang kafir saja, status mereka juga harus jelas,
apakah mereka termasuk orang-orang yang boleh diperangi ataukah tidak. Sebab,
pada sekelompok orang-orang kafir tersebut ada kafir harbi, kafir dzimmi atau
kafir mu’ahad. Begitu juga di kalangan mereka ada wanita, anak-anak dan
orang-orang lanjut usia.
Untuk menetapkan, apakah orang kafir tersebut harbi atau tidak, dan apakah
peperangan kepada mereka dibenarkan atau tidak, khususnya pada zaman sekarang
ini, tentu persoalannya memerlukan kajian serius dan tidak bisa digeneralisir.
Apalagi jika persoalannya adalah sasaran jihad itu ditujukan kepada sekelompok
kaum muslimin.
Maka dalam hal ini umat Islam pada umumnya dan mujahidin pada khususnya
sangat memerlukan bimbingan para ulama yang shalih dan terkenal kelurusannya,
bukan tokoh-tokoh yang berhaluan Khawarij, Murji’ah atau Mu’tazilah, atau
orang-orang majhul yang belum dikenal keilmuannya dan belum diketahui kelurusan
akidah dan manhajnya.
Dan hari ini dalam kancah jihad Syam, kaum muslimin dibuat bingung oleh
perselisihan yang terjadi di kalangan mujahidin, khususnya perselisihan antara
jamaah Daulah Islam Iraq dan Syam (ISIS) dengan jamaah-jamaah mujahidin
lainnya. Padahal mereka masih memiliki para ulama yang tsiqah (terpercaya),
yang bersih aqidahnya, lurus manhajnya, dan nyata amalnya serta ilmunya menjadi
rujukan bagi kaum muslim di berbagai belahan dunia.
1.
Syaikh Ayman
Az-Zhawahiri
“Daulah
Iislam Iraq dan Syam dihapus dan Al-Baghdadi kembali ke Iraq. Tanzhim-tanzhim
jihad di bumi Syam adalah saudara-saudara kami yg mana kami tidak rela mereka
digelari “murtad, kafir dan keluar dari islam”. Dan kalian mengetahui bahwa
kami telah mengajak, dan akan terus mengajak semua faksi jihad untuk
mengupayakan tegaknya pemerintahan Islam di Syam bumi ribath, dan memilih orang
yang pada dirinya terpenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syariat
sebagai penguasa mereka, dan pilihan mereka adalah pilihan kami, dan kita tidak
menghendaki ada seseorang yg memaksakan dirinya (jadi penguasa) bagi mereka
karena kita sedang berusaha mengembalikan khilafah rasyidah”.
2.
Syaikh Abu Muhammad
Al-Maqdisi
“Aku katakan
celaan pada Daulah (ISIS), jika kita tidak bisa berjihad dan berinteraksi
dengan faksi-faksi jihad lain yang sama-sama menjunjung panji tauhid, yang
karena panji ini kita berjuang, dan jika kita berselisih dengan faksi-faksi
tersebut dalam banyak persoalan yang rinci, maka bagaimana mungkin kita bisa
melakukannya secara luas terhadap orang-orang suriah, dimana di antara mereka
ada yang nashrani, dan yang lain lagi dari berbagai agama dan keyakinan???
Terlebih lagi konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok jihad dan peledakan
yang ditargetkan pada markas mujahidin, maka fatwa tentang bolehnya berperang
sesama kaum muslimin adalah sebuah kebodohan dan pembodohan, tidak akan keluar
dari seorang ‘alim yang meliliki keluasan fiqh dan agama yang kuat. Perkara
dalam urusan darah membutuhkan taqwa pada Allah ‘azza wa jalla”.
3.
Syaikh Abu
Qatadah Al-Fillisthin
“Aku
nasehatkan kepada saudara Abu Bakar Al-Baghdadi, jika dia memang orang yang mau
mendengar nasehat, jika dia meyakini bahwa perkara jihad dan kepemimpinan
patokannya adalah kemashlahatan umat, hendaknya dia mentaati Hakimul Ummah Dr.
Ayman Az-Zhawahiri, untuk mengumumkan penarikan imarahnya dari Syam dan
mencukupkan wilayah Iraq, kemudian menggabungkan seluruh mujahidin Daulah
(ISIS) ke Jabhah Nushrah. Karena jika dia mengerjakan hal tersebut, niscaya
akan terwujud maslahat yang sangat banyak bagi umat dan akan lenyap keburukan
yg banyak dari umat. Karena maksud kalian adalah menegakkan dien, bukan membela
tanzhim. Jika dia tidak mengerjakannya, aku nasehatkan para komandan dibawah
kepemimpinannya, agar bersegera bergabung dengan Jabhah Nushrah demi
kemashlahatan yang sangat banyak, yang tidak cukup tempat buat kami sebutkan di
sini. Dan ini menurutku adalah kewajiban syar’i bagi mereka”.[19]
F.
Pendapat Majelis
Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
Majelis
Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) beserta lembaga-lembaga yang
bergabung dengannya berkewajiban untuk menyampaikan pandangan dan sikap sebagai
nasihat bagi umat Islam Indonesia dan seluruh komponen masyarakat yang
membutuhkannya sebagai berikut:
1. Bahwa kekhilafahan ditegakkan untuk melaksanakan hukum syari’at secara
kaffah, lurus dan benar dalam keadaan damai tanpa ada intimidasi; melindungi
agama, jiwa, akal, harta, dan kelangsungan
regenerasi umat; mewujudkan persaudaraan Islam yang hakiki, dan membangun
peradaban dengan cahaya Islam.
2. Bahwa Imamah bukan merupakan pokok agama dalam pandangan ahlu sunnah wal
jamaah melainkan sebagai furu’ (cabang) agama, maka tidak boleh dijadikan alat
untuk mengkafirkan bagi yang tidak setuju.
3. Bahwa pelaksanaan pengangkatan seorang pemimpin menjadi Khalifah kaum
muslimin (pembai’atan) harus melalui prosedur Musyawarah Ahlul Halli wal ‘Aqdi
yang merepresentasikan para Ulama Islam sedunia, sebagaimana ditegaskan
Khalifah Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu dalam shahih Bukhori bahwa beliau
berkata: “Siapa yang membaiat seseorang tanpa musyawarah kaum muslimin,
dia jangan diikuti, demikian pula yang membaiatnya, agar tidak terjerumus untuk
dibunuh keduanya.”
4. Bahwa pengangkatan pemimpin ISIS menjadi Khalifah tidak melalui prosedur
musyawarah yang benar, yaitu ketidakjelasan identitas para Ahli Syura yang
mengangkatnya maupun identitas pemimpin yang diangkatnya sebagai Khalifah dan
Imam tertinggi Daulah Islamiyah itu sendiri. Dengan demikian pembai’atan itu
itu sendiri tidak benar secara syar’i.
5. Bahwa telah terjadi penolakan dan pengingkaran tentang keabsahan Khilafah
Daulah Islamiyah bentukan ISIS yang dinyatakan oleh para Ulama dunia, baik yang
berdomisili di wilayah Iraq dan Syam itu sendiri maupun di berbagai negeri
muslim yang lain. seperti yang dinyatakan oleh Ittihad ‘Aalamy li ‘ulama al
Muslimin (Persatuan ulama dunia Islam) yang dipimpin oleh Syekh Dr Yusuf
Qardhawi, Rabithah ulama Muslimin Ikatan Ulama Islam sedunia, Syekh Abdullah
bin Muhammad bin Sulaiman Al Muhaisini, Ketua Rabithah Ulama Syam Syekh Usamah
Rifa’i dan Syekh Abdul Muhsin bin Al ‘Abbad.
6. Menyerukan kepada seluruh kaum muslimin untuk tidak latah ikut-ikutan tanpa
dasar ilmu yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, serta harus tetap waspada
dan tidak terprovokasi dengan isu-isu yang dikembangkan pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab yang hendak memecah belah dan memancing situasi konflik dan
disintegrasi internal umat Islam di negara Indonesia. Serta berprasangka baik
dan bersikap adil terhadap saudara-saudara muslim yang sedang memperjuangkan
harga diri dan kehormatan Islam di Irak, Syam dan seluruh dunia, sebagaimana
yang diperintahkan Allah SWT dalam Al Maidah ayat 8: “Hai orang-orang yang
beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS: Al-Maidah
Ayat: 8)
7. Menyerukan kepada ormas-ormas Islam agar bersama-sama berperan aktif
meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam membangun situasi yang kondusif,
tenang, damai, penuh kekeluargaan serta persahabatan di tengah umat dan bangsa.
8. Menghimbau Pemerintah Indonesia agar tetap bersikap bijak, adil dan
transparan dalam menangani kemungkinan terjadinya ekses negatif dari deklarasi
Kekhalifah ISIS tersebut sehingga adanya kesalahfahaman di sebagian kalangan
kaum muslimin di Indonesia tidak memicu potensi konflik yang lebih besar lagi.
9. Menyerukan kepada seluruh masyarakat, khususnya lembaga-lembaga sosial dan
kemanusiaan untuk tetap konsisten membantu rakyat korban bencana kemanusiaan di
Suriah dan Palestina.
10. Mendoakan semua pihak yang terlanjur terlibat dengan tanpa dasar ilmu,
semoga Allah SWT memberi taufiq dan hidayahnya kepada kita semua agar dapat
kembali ke jalan yang benar yang diridhainya dan mengampuni segala khilaf dan
kelemahan kita semua. Amin.[20]
G. Pandangan Filsafat Ilmu tentang ISIS
Permasalahan ini dapat kita analisis
berdasarkan paham filsafat Utilitarianisme
dan paham Pragmatisme.
1.
Utilitarianisme adalah paham yang
berpendapat bahwa sesuatu yang ‘baik’ adalah sesuatu yang berguna, bermanfaat
dan menguntungkan. Jika tidak berguna, tidak bermanfaat dan tidak
menguntungkan, maka sesuatu itu ‘tidaklah baik’. Jika kita analisa Mengapa ‘Barat’ terlihat sangat ikut campur
terhadap masalah milisi ISIS, kita bisa dengan mudah menemukan alasan bahwa
pihak ‘Barat’ melihat bahwa gerakan ISIS adalah sebuah gerakan yang sama sekali
tidak menguntungkan mereka, tidak berguna bagi mereka, dan bahkan bisa jadi mereka
menilai bahwa gerakan tersebut akan sangat berbahaya bagi mereka dimasa depan,
jika tidak dibasmi sejak dari sekarang.
2.
Pragmatisme adalah paham yang berpendapat
bahwa kemampuan manusia tidaklah mutlak, tidak bisa didoktrin, atau dengan kata
lain, kemampuan manusia itu bersifat relatif, tergantung pada kemampuan manusia
itu sendiri. Inilah alasan yang tepat jika kita ingin menganalisa masalah
keterlibatan ‘Barat’ dalam masalah ISIS. Mengapa bukan pemerintah Irak dan
Suriah saja yang membereskannya? Mengapa bukan pemerintah negara-negara
tetangganya saja yang bertindak? Bisa jadi, alasannya adalah –berkaitan dengan
paham pragmatisme, pemerintah negara-negara tersebut tidak
sanggup mengatasi masalah tersebut seorang diri.[21]
Kita bisa melihat bahwa Koalisi
‘Barat’ yang sedang menggempur militan ISIS menggunakan paham Rasionalisme dalam
bertindak. Mengapa mereka tidak menghancurkan seluruh wilayah target operasi
sehingga pekerjaan mereka lebih cepat selesai? Karena mereka berpikir bahwa
segala sesuatu harus dilakukan dengan rasio atau akal, serta masuk akan atau
tidaknya sesuatu, sepaham dengan aliran Rasionalisme.
BAB III
KESIMPULAN
ISIS merupakan kelompok ekstremis
yang mengikuti ideologi garis keras Al-Qaidah dan menyimpang
dari prinsip-prinsip jihad. Seperti
al-Qaeda dan banyak kelompok jihad modern lainnya, ISIS muncul dari ideologi Ikhwanul Muslimin, kelompok Islam
pertama di dunia pada tahun 1920-an di Mesir. ISIS mengikuti ekstrim
anti-Barat yang menurutnya sebagai penafsiran Islam, mempromosikan kekerasan
agama dan menganggap mereka yang tidak setuju dengan tafsirannya sebagai kafir dan murtad. Secara bersamaan,
ISIS (sekarang IS) bertujuan untuk mendirikan negara Islam Salafi yang berorientasi di Irak, Suriah dan bagian lain dari Syam.
Dari pergerakan yang dilakukan oleh ISIS ini para ulama kontemporer ini
menyatakan bahwa gerakan jihad ini tidak terkategorika jihad yang sah sesuai
ketentuan syari’at Islam. Dan yang lebih miris lagi yaitu pembantaian yang
mereka lakukan akhir-akhir ini mengatasnamakan Islam dan jihad di jalan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Ø scrnfipunm.wordpress.com
Ø id.wikipedia.org/pengertian-isis/
diakses pada tanggal 06 Mei 2014
Ø dakwatuna.com
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda