Makalah Al-urf dan syar'u man qo lana
AL-U’RF, DAN
SYAR’U MAN QOBLANA
MAKALAH
DiajukanSebagaiSalah Satu TugasTersetruktur Pada Mata Kuliah
Pendidikan Fiqih / Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Wasehuddin, M.
Si
DisusunOlehKelompok 5:
A. Fauzi
|
132101746
|
Siti
sri suryani
|
142101742
|
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI-6/F)
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI “SMH” BANTEN
TahunAkademik
2015-2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayatNya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas Mata Kuliah “pendidikan fiqih / usul
fiqih, dan makalah ini berisi tentang al-urf, dan syar’u man qoblana.
Sholawat dan salam
semoga tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah menuntun umat
manusia kedalam cahaya illahi, semoga kaum muslimin pada umumnya mendapatkan
syafaatnya.
Dan tak lupa kami
ucapkan banyak terima kasih kepada bapak wasehuddin, M.Si yang telah membimbing
dan membina kami dalam mata kuliah pendidikan fiqih / ushul fiqih, dan kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini
kami sadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karenanya kami mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca, semoga senantiasa allah memberikan bimbingan dan
petunjuk kepada kita semua, amien ya robbal alamin.
Serang, 10 Maret
2016
penyusun
Daftar Isi
Kata pengantar
Daftar isi
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah 1
B.
Rumusan masalah 1
C.
Tujuan 2
BAB
II PEMBAHASAN
1.
Al-urf 3
A. Pengertian
Al-urf 3
B. Macam-macam
urf 4
C. Kedudukan
urf sebagai dalil syara 6
D. Kaidah-kaidah
urf 8
2.
Syar’u man qoblana 8
A. Pengertian
syar’u man qoblana 8
B. Pendapat
ulama tentang syar’u man qoblana 9
C. Pengelompokan
syar’u man qoblana 10
D. Macam-macam
syar’u man qoblana 11
BAB
III PENUTUP 13
A.
Kesimpulan 13
DAFTAR PUSTAKA 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu ushul
fikih sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa diabaikan oleh seorang
mujtahid dalam upaya memberi penjelasan mengenai nash-nash syari’at Islam, dan
dalam menggali hukum yang tidak memiliki nash. Ilmu ini juga merupakan suatu
ilmu yang ditemukan sebagai seorang hakim dalam usaha memahami materi
undang-undang secara sempurna, dan dalam menerapkan undang-undang itu dengan
praktik yang dapat menyatakan keadilan serta sesuai dengan makna materi yang
diperlukan oleh ulama’ fikih dalam melakukan pembahasan, pengkajian,
penganalisaan dan membandingkan antara beberapa madzhab dan pendapat.
Dalam ilmu
ushul fikih ini terdapat banyak sekali pembahasan, diantaranya adalah Al-‘Urf, Syar’u man qoblana dan Syadu Az-zariah yang akan
kami coba diskusikan yang mana ketiga hal tersebut adalah bagian dari
ushul fiqh, apa yang mendasari ulama untuk menjadikan hal tersebut sebagai
salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam
kehidupan nyata masyarakat, hal yang tentunya tidak semudah dengan apa yang
sedang kita diskusikan, karena tidak semua ulama’ setuju, walaupun juga tidak
sedikit yang tetap menjadikannya sebagai pijakan hukum.
B. Rumusan Masalah
Mengigat banyaknya ruag
lingkup yang akan di bahas oada makalah ini, maka penyususn membatasi makalah
ini dengan sebagai berikut:
a.
Al-Urf
1.
Apa yang dimaksud dengan ‘urf…?
2.
Apa Saja Macam-macam
‘urf …?
3.
Apa Kedudukan
‘urf sebagai dalil Syara’…?
4.
Apa Syarat-syarat
‘urf…?
b.
Syar’u man qoblana
1.
Apa yang di maksud dengan
Syar’u man qoblana…?
2.
Apa pendapat ulama tentang
syar’u man qoblana…?
3.
Apa saja yang termasuk dalam
pengelompkan syar’u man qoblana…?
4.
Apa saja macam-macam syar’u
man qoblana…?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur pada mata
kuliah pendidikan fiqih / ushul fiqih, juga sebagai salah satu bahan
pengetahuan terutama tentang al-urf, syar’u man qoblana dan syad az-zariah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. AL-URF / ADAT KEBIASAAN
A. Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf
secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal
sehat.
Sedangkan kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan
istilah al ‘adah (kebiasaan), yaitu: “sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapat diterimanya oleh
akal yang sehat dan watak yang benar”[1]
Sedangkan
menurut Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti ialah sesuatu yang telah
dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa
perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan
adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat
(adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf
lebih umum dibanding dengan pengertian adat karena adat disamping telah dikenal
oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan
telah merupakan hukun tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang
melanggarnya.
Contohnya
adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar
menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan
manusia menyebut al walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak
perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan
kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat
mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’, yang terbentuk dari
kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.
B. Macam-macam ‘Urf
‘Urf atau adat itu ada dua macam,
yaitu adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan
yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak
menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Sedangkan adat yang
rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan
syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan kewajiban.
Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat
dilihat dari beberapa segi:
1.
Ditinjau dari segi materi yang biasa
dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada dua macam:
a.
‘Urf qauli, yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contohnya, kata Waladun
secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki-laki atau
perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya
kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (Mu’annats).
Penggunaan kata Walad itu untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenahi
waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur’an, seperti dalam surat
an-Nisa’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang
disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.[2]
b.
‘Urf fi’li, yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1) jual beli barang-barang
yang enteng (murah dan tidak begitu bernilai) transaksi antara penjual dan
pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa
ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual
beli. (2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya
ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.[3]
2.
Dari segi ruang lingkup
penggunaannya
a.
Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan
yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa
memandang negara, bangsa dan agama. Umpamanya: menganggukkan kepala tanda
menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau meniadakan. Kalau ada
orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil.[4]
b.
Adat atau ‘urf khusus, yaitu
kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu atau pada waktu
tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan sembarang waktu. Contohnya, orang
Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dari ayah; sedangkan orang Jawa
menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan kakak dari ayah.[5]
3.
Dari segi penilaian baik dan buruk:
a.
Adat yang shahih, yaitu adat
yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan
dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur. Contohnya, memberi hadiah
kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara
halal bihalal (silaturrahmi) saat hari raya; memberi hadiah sebagai
suatu penghargaan atas suatu prestasi.
b.
Adat yang fasid, yaitu adat
yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan
dengan agama, undang-undang negara daan sopan santun. Contohnya, berjudi untuk
merayakan suatu peristiwa; pesta dengan menghidangkan minuman haram; membunuh
anak perempuan yang baru lahir; kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah). [6]
C. Kedudukan ‘Urf sebagai dalil Syara’
Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf
shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan Syara’.
Ulama’ Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama’ Madinah
dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa
pendapat ulama’ Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’i terkenal
dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau
menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul
qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan
bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak
mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil
syara’ didasarkan atas argumen-argumen berikut ini:
Firman Allah pada surah al-A’raf
ayat 199
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang bodoh”.
Melalui ayat di atas Allah
memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang
disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin
sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan
watak manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran
Islam.
Ucapan sahabat Rasulullah SAW;
Abdullah bin Mas’ud:
فَمَا رَاَهُ
المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَارَاَهُ المُسْلِمُوْنَ
سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْئٌ
Artinya: “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin
adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di
sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di
atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa
kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan
dengan tuntunan umum syari’at Islam adalah juga merupakan sesuatu yang baik di
sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan
dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam pada itu, Allah berfirman pada surat
al-Maidah ayat 6:
مَا يُرِيدُ
اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
Adat yang
benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara’ dan putusan perkara.
Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan
bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa
yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan
mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.
Adapun adat
yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak
berarti menentang dalil Syara’ atau membatalkan hukum Syara’.
Hukum yang
didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena
masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam
hal perbedaan pendapat ini para ‘ulama fikih berkata: “Perbedaan itu adalah
pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.[7]
D. Kaidah-kaidah al-Urf
Kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan
Al-Urf diantaranya sebagai berikut:
a. مُحَكَّمَةٌ اَلْعَادَةُ
“Adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”
b. بِهَا الْعَمَلُ يُحِبُّ حُجَّةٌ النَّاسِ اِسْتِعْمَالُ
“Perbuatan
manusia yang telah tetap dikerjakan wajib beramal dengannya”
c. لْاَزْمَانِ بِتَغَيُّرِ لَاحْكَامِ تَغَيُّرَا يَنْكُرُ لَا
“Tidak dapat
dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan) dengan perubahan masa”[8]
A. Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran yang di bawa nabi-nabi yang terdahulu,
sebelum diutusnya nabi muhammd SAW. Yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka
utus kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim, nabi daud, Nabi Musa, Nabi Isa
as. [9]
Pada asas syariat yang diperuntukan Allah SWT bagi umat-umat dahulu
mempunyai asas yang sama dengan asas yang diperuntukan bagi umat nabi Muhammad
SAW., sebagai mana dinyatakan dalam Al-quran:
شَرَعَ
لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوحَيْنَا إِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا الدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ
اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ
“Dia telah
mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)[10]
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh
ayat 183:
ياَاَيُّهَا
الَّذِينَ أَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamuberpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelumkamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
B. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama
Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam
Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam
itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan
melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash
yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu.
Alasan yang di kemukakan adalah:
1. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang
disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku
kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوحَيْنَا
إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا
الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ
إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ
يُنِيْبُ
“Dia telah
mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh
mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
ثُمَّ أَوْ حَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِحْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا
وَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123). [11]
C. Pengelompokan Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an
atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad
dan dijelaskan pula dalam al-qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian
telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad.
seperti firman allah dalam surat al-an’am
(8): 146:
وَعَلَى الَّذيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ
وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
شُحُوْ مَهُمَا
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap
binatang yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka
lemaknya”.
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah
untuk orang Yahudi dahulu. kemudian dijelaskan pula dalam al-qur’an bahwa hal
itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam
surat Al-An’am (6): 145:
قُلْ
لاَأَجِدُفِيْ مَاأُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍل يَطْعَمُهُ
إِلاَّأَنْ يَكُوْنُ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْ حًاأَوْلَحْمَ خِنْزِيْرٍ
2. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadis nabi disyariatkan untuk
umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan
berlaku untuk selanjutnya.
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas
umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa’’.
Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan
diwajibkan atas umat Nabi Muhammad
3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau hadis nabi, dijelaskan
berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan
berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh.
D. Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat
dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam
Al-quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini
diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
a.
Dinasakh
syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan
semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis
tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
b.
Dianggap
syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas
kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
c.
Tidak ada
penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ‘urf
berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf”
yang artinya adalah sesuatu yang dikenal. Dan telah menjadi tradisi mereka,
baik berupa perkataan, atau perbuatan. ‘Urf juga disebut adat. Menurut istilah
para ahli syara’ tidak ada perbedaan antara `urf dan adat kebiasaan, karena kedua kata ini pengertiannya
sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi
dikenal dan diakui orang banyak.
Berdasarkan keabsahannya, `Urf ada dua macam, yaitu: `Urf
yang sahih, dan `Urf yang fasid. Berdasarkan ruang lingkup penggunaannya,
`Urf terbagi kepada:‘Urf ‘am (umum) dan ‘Urf khosh (khusus). Sedangkan berdasarkan objeknya, ‘urf terbagi dua
yaitu:‘Urf Lafzhy (ucapan) dan‘Urf Amali(perbuatan).
Jumhur ulama telah banyak berhujjah dengan ’urf. Dan yang terkenal
menggunakan ’urf ini adalah golongan Hanafiyah dan Malikiyah. Dan di antara ucapan yang masyur di kalangan ulama: ”apa yang terkenal sebagai ’urf sama dengan yang ditetapkan sebagai
syarat, dan sesuatu yang tetap karena ’urf sama dengan yang ditetapkan karena
nash”.Berkaitan dengan ’Urf, dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: “Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar
(pertimbangan) hukum”. kaidah lain: “Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum)
dengan dasar nash”.
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau
ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti
syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah.
Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-quran
dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKKA
Sanusi ahmad, sohari. Ushul fiqih. (kota depok:
PT. RajaGrafindo Persada). 2015
Shidiq saepudin. Ushul
Fiqih. (Jakarta: Prenada Media Group). 1996.
Dahlan Abd rohman. Ushul fiqih. (Jakarta: Amzah). 2010
Wahab
kholaf Abdul. Ilmu Ushul Fiqih. (
Bandung: Gema risalah press).1996.
Syafei
rahmat. Ilmu Ushul fiqih. (bandung:
CV. Pustaka setia). 1998
Masduki. Dasar-dasar ushul fiqih. (Serang:
Lembaga Penelitian IAIN SMHB). 2012
[9]. Ahmad
sanusi, sohari. Ushul fiqih. (PT. Raja Grafindo Persada: Kota Depok). 2015. Hal
86
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu ushul
fikih sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa diabaikan oleh seorang
mujtahid dalam upaya memberi penjelasan mengenai nash-nash syari’at Islam, dan
dalam menggali hukum yang tidak memiliki nash. Ilmu ini juga merupakan suatu
ilmu yang ditemukan sebagai seorang hakim dalam usaha memahami materi
undang-undang secara sempurna, dan dalam menerapkan undang-undang itu dengan
praktik yang dapat menyatakan keadilan serta sesuai dengan makna materi yang
diperlukan oleh ulama’ fikih dalam melakukan pembahasan, pengkajian,
penganalisaan dan membandingkan antara beberapa madzhab dan pendapat.
Dalam ilmu
ushul fikih ini terdapat banyak sekali pembahasan, diantaranya adalah Al-‘Urf, Syar’u man qoblana dan Syadu Az-zariah yang akan
kami coba diskusikan yang mana ketiga hal tersebut adalah bagian dari
ushul fiqh, apa yang mendasari ulama untuk menjadikan hal tersebut sebagai
salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam
kehidupan nyata masyarakat, hal yang tentunya tidak semudah dengan apa yang
sedang kita diskusikan, karena tidak semua ulama’ setuju, walaupun juga tidak
sedikit yang tetap menjadikannya sebagai pijakan hukum.
B. Rumusan Masalah
Mengigat banyaknya ruag
lingkup yang akan di bahas oada makalah ini, maka penyususn membatasi makalah
ini dengan sebagai berikut:
a.
Al-Urf
1.
Apa yang dimaksud dengan ‘urf…?
2.
Apa Saja Macam-macam
‘urf …?
3.
Apa Kedudukan
‘urf sebagai dalil Syara’…?
4.
Apa Syarat-syarat
‘urf…?
b.
Syar’u man qoblana
1.
Apa yang di maksud dengan
Syar’u man qoblana…?
2.
Apa pendapat ulama tentang
syar’u man qoblana…?
3.
Apa saja yang termasuk dalam
pengelompkan syar’u man qoblana…?
4.
Apa saja macam-macam syar’u
man qoblana…?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur pada mata
kuliah pendidikan fiqih / ushul fiqih, juga sebagai salah satu bahan
pengetahuan terutama tentang al-urf, syar’u man qoblana dan syad az-zariah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. AL-URF / ADAT KEBIASAAN
A. Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf
secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal
sehat.
Sedangkan kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan
istilah al ‘adah (kebiasaan), yaitu: “sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapat diterimanya oleh
akal yang sehat dan watak yang benar”[1]
Sedangkan
menurut Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti ialah sesuatu yang telah
dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa
perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan
adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat
(adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf
lebih umum dibanding dengan pengertian adat karena adat disamping telah dikenal
oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan
telah merupakan hukun tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang
melanggarnya.
Contohnya
adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar
menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan
manusia menyebut al walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak
perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan
kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat
mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’, yang terbentuk dari
kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.
B. Macam-macam ‘Urf
‘Urf atau adat itu ada dua macam,
yaitu adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan
yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak
menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Sedangkan adat yang
rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan
syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan kewajiban.
Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat
dilihat dari beberapa segi:
1.
Ditinjau dari segi materi yang biasa
dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada dua macam:
a.
‘Urf qauli, yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contohnya, kata Waladun
secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki-laki atau
perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya
kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (Mu’annats).
Penggunaan kata Walad itu untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenahi
waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur’an, seperti dalam surat
an-Nisa’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang
disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.[2]
b.
‘Urf fi’li, yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1) jual beli barang-barang
yang enteng (murah dan tidak begitu bernilai) transaksi antara penjual dan
pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa
ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual
beli. (2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya
ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.[3]
2.
Dari segi ruang lingkup
penggunaannya
a.
Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan
yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa
memandang negara, bangsa dan agama. Umpamanya: menganggukkan kepala tanda
menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau meniadakan. Kalau ada
orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil.[4]
b.
Adat atau ‘urf khusus, yaitu
kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu atau pada waktu
tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan sembarang waktu. Contohnya, orang
Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dari ayah; sedangkan orang Jawa
menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan kakak dari ayah.[5]
3.
Dari segi penilaian baik dan buruk:
a.
Adat yang shahih, yaitu adat
yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan
dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur. Contohnya, memberi hadiah
kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara
halal bihalal (silaturrahmi) saat hari raya; memberi hadiah sebagai
suatu penghargaan atas suatu prestasi.
b.
Adat yang fasid, yaitu adat
yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan
dengan agama, undang-undang negara daan sopan santun. Contohnya, berjudi untuk
merayakan suatu peristiwa; pesta dengan menghidangkan minuman haram; membunuh
anak perempuan yang baru lahir; kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah). [6]
C. Kedudukan ‘Urf sebagai dalil Syara’
Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf
shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan Syara’.
Ulama’ Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama’ Madinah
dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa
pendapat ulama’ Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’i terkenal
dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau
menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul
qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan
bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak
mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil
syara’ didasarkan atas argumen-argumen berikut ini:
Firman Allah pada surah al-A’raf
ayat 199
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang bodoh”.
Melalui ayat di atas Allah
memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang
disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin
sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan
watak manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran
Islam.
Ucapan sahabat Rasulullah SAW;
Abdullah bin Mas’ud:
فَمَا رَاَهُ
المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَارَاَهُ المُسْلِمُوْنَ
سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْئٌ
Artinya: “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin
adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di
sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di
atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa
kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan
dengan tuntunan umum syari’at Islam adalah juga merupakan sesuatu yang baik di
sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan
dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam pada itu, Allah berfirman pada surat
al-Maidah ayat 6:
مَا يُرِيدُ
اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
Adat yang
benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara’ dan putusan perkara.
Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan
bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa
yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan
mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.
Adapun adat
yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak
berarti menentang dalil Syara’ atau membatalkan hukum Syara’.
Hukum yang
didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena
masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam
hal perbedaan pendapat ini para ‘ulama fikih berkata: “Perbedaan itu adalah
pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.[7]
D. Kaidah-kaidah al-Urf
Kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan
Al-Urf diantaranya sebagai berikut:
a. مُحَكَّمَةٌ اَلْعَادَةُ
“Adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”
b. بِهَا الْعَمَلُ يُحِبُّ حُجَّةٌ النَّاسِ اِسْتِعْمَالُ
“Perbuatan
manusia yang telah tetap dikerjakan wajib beramal dengannya”
c. لْاَزْمَانِ بِتَغَيُّرِ لَاحْكَامِ تَغَيُّرَا يَنْكُرُ لَا
“Tidak dapat
dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan) dengan perubahan masa”[8]
A. Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran yang di bawa nabi-nabi yang terdahulu,
sebelum diutusnya nabi muhammd SAW. Yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka
utus kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim, nabi daud, Nabi Musa, Nabi Isa
as. [9]
Pada asas syariat yang diperuntukan Allah SWT bagi umat-umat dahulu
mempunyai asas yang sama dengan asas yang diperuntukan bagi umat nabi Muhammad
SAW., sebagai mana dinyatakan dalam Al-quran:
شَرَعَ
لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوحَيْنَا إِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا الدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ
اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ
“Dia telah
mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)[10]
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh
ayat 183:
ياَاَيُّهَا
الَّذِينَ أَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamuberpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelumkamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
B. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama
Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam
Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam
itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan
melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash
yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu.
Alasan yang di kemukakan adalah:
1. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang
disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku
kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوحَيْنَا
إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا
الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ
إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ
يُنِيْبُ
“Dia telah
mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh
mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
ثُمَّ أَوْ حَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِحْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا
وَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123). [11]
C. Pengelompokan Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an
atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad
dan dijelaskan pula dalam al-qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian
telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad.
seperti firman allah dalam surat al-an’am
(8): 146:
وَعَلَى الَّذيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ
وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
شُحُوْ مَهُمَا
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap
binatang yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka
lemaknya”.
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah
untuk orang Yahudi dahulu. kemudian dijelaskan pula dalam al-qur’an bahwa hal
itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam
surat Al-An’am (6): 145:
قُلْ
لاَأَجِدُفِيْ مَاأُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍل يَطْعَمُهُ
إِلاَّأَنْ يَكُوْنُ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْ حًاأَوْلَحْمَ خِنْزِيْرٍ
2. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadis nabi disyariatkan untuk
umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan
berlaku untuk selanjutnya.
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas
umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa’’.
Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan
diwajibkan atas umat Nabi Muhammad
3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau hadis nabi, dijelaskan
berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan
berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh.
D. Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat
dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam
Al-quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini
diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
a.
Dinasakh
syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan
semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis
tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
b.
Dianggap
syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas
kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
c.
Tidak ada
penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ‘urf
berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf”
yang artinya adalah sesuatu yang dikenal. Dan telah menjadi tradisi mereka,
baik berupa perkataan, atau perbuatan. ‘Urf juga disebut adat. Menurut istilah
para ahli syara’ tidak ada perbedaan antara `urf dan adat kebiasaan, karena kedua kata ini pengertiannya
sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi
dikenal dan diakui orang banyak.
Berdasarkan keabsahannya, `Urf ada dua macam, yaitu: `Urf
yang sahih, dan `Urf yang fasid. Berdasarkan ruang lingkup penggunaannya,
`Urf terbagi kepada:‘Urf ‘am (umum) dan ‘Urf khosh (khusus). Sedangkan berdasarkan objeknya, ‘urf terbagi dua
yaitu:‘Urf Lafzhy (ucapan) dan‘Urf Amali(perbuatan).
Jumhur ulama telah banyak berhujjah dengan ’urf. Dan yang terkenal
menggunakan ’urf ini adalah golongan Hanafiyah dan Malikiyah. Dan di antara ucapan yang masyur di kalangan ulama: ”apa yang terkenal sebagai ’urf sama dengan yang ditetapkan sebagai
syarat, dan sesuatu yang tetap karena ’urf sama dengan yang ditetapkan karena
nash”.Berkaitan dengan ’Urf, dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: “Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar
(pertimbangan) hukum”. kaidah lain: “Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum)
dengan dasar nash”.
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau
ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti
syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah.
Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-quran
dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKKA
Sanusi ahmad, sohari. Ushul fiqih. (kota depok:
PT. RajaGrafindo Persada). 2015
Shidiq saepudin. Ushul
Fiqih. (Jakarta: Prenada Media Group). 1996.
Dahlan Abd rohman. Ushul fiqih. (Jakarta: Amzah). 2010
Wahab
kholaf Abdul. Ilmu Ushul Fiqih. (
Bandung: Gema risalah press).1996.
Syafei
rahmat. Ilmu Ushul fiqih. (bandung:
CV. Pustaka setia). 1998
Masduki. Dasar-dasar ushul fiqih. (Serang:
Lembaga Penelitian IAIN SMHB). 2012
[9]. Ahmad
sanusi, sohari. Ushul fiqih. (PT. Raja Grafindo Persada: Kota Depok). 2015. Hal
86
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu ushul
fikih sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa diabaikan oleh seorang
mujtahid dalam upaya memberi penjelasan mengenai nash-nash syari’at Islam, dan
dalam menggali hukum yang tidak memiliki nash. Ilmu ini juga merupakan suatu
ilmu yang ditemukan sebagai seorang hakim dalam usaha memahami materi
undang-undang secara sempurna, dan dalam menerapkan undang-undang itu dengan
praktik yang dapat menyatakan keadilan serta sesuai dengan makna materi yang
diperlukan oleh ulama’ fikih dalam melakukan pembahasan, pengkajian,
penganalisaan dan membandingkan antara beberapa madzhab dan pendapat.
Dalam ilmu
ushul fikih ini terdapat banyak sekali pembahasan, diantaranya adalah Al-‘Urf, Syar’u man qoblana dan Syadu Az-zariah yang akan
kami coba diskusikan yang mana ketiga hal tersebut adalah bagian dari
ushul fiqh, apa yang mendasari ulama untuk menjadikan hal tersebut sebagai
salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam
kehidupan nyata masyarakat, hal yang tentunya tidak semudah dengan apa yang
sedang kita diskusikan, karena tidak semua ulama’ setuju, walaupun juga tidak
sedikit yang tetap menjadikannya sebagai pijakan hukum.
B. Rumusan Masalah
Mengigat banyaknya ruag
lingkup yang akan di bahas oada makalah ini, maka penyususn membatasi makalah
ini dengan sebagai berikut:
a.
Al-Urf
1.
Apa yang dimaksud dengan ‘urf…?
2.
Apa Saja Macam-macam
‘urf …?
3.
Apa Kedudukan
‘urf sebagai dalil Syara’…?
4.
Apa Syarat-syarat
‘urf…?
b.
Syar’u man qoblana
1.
Apa yang di maksud dengan
Syar’u man qoblana…?
2.
Apa pendapat ulama tentang
syar’u man qoblana…?
3.
Apa saja yang termasuk dalam
pengelompkan syar’u man qoblana…?
4.
Apa saja macam-macam syar’u
man qoblana…?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur pada mata
kuliah pendidikan fiqih / ushul fiqih, juga sebagai salah satu bahan
pengetahuan terutama tentang al-urf, syar’u man qoblana dan syad az-zariah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. AL-URF / ADAT KEBIASAAN
A. Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf
secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal
sehat.
Sedangkan kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan
istilah al ‘adah (kebiasaan), yaitu: “sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapat diterimanya oleh
akal yang sehat dan watak yang benar”[1]
Sedangkan
menurut Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti ialah sesuatu yang telah
dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa
perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan
adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat
(adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf
lebih umum dibanding dengan pengertian adat karena adat disamping telah dikenal
oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan
telah merupakan hukun tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang
melanggarnya.
Contohnya
adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar
menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan
manusia menyebut al walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak
perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan
kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat
mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’, yang terbentuk dari
kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.
B. Macam-macam ‘Urf
‘Urf atau adat itu ada dua macam,
yaitu adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan
yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak
menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Sedangkan adat yang
rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan
syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan kewajiban.
Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat
dilihat dari beberapa segi:
1.
Ditinjau dari segi materi yang biasa
dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada dua macam:
a.
‘Urf qauli, yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contohnya, kata Waladun
secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki-laki atau
perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya
kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (Mu’annats).
Penggunaan kata Walad itu untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenahi
waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur’an, seperti dalam surat
an-Nisa’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang
disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.[2]
b.
‘Urf fi’li, yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1) jual beli barang-barang
yang enteng (murah dan tidak begitu bernilai) transaksi antara penjual dan
pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa
ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual
beli. (2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya
ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.[3]
2.
Dari segi ruang lingkup
penggunaannya
a.
Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan
yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa
memandang negara, bangsa dan agama. Umpamanya: menganggukkan kepala tanda
menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau meniadakan. Kalau ada
orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil.[4]
b.
Adat atau ‘urf khusus, yaitu
kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu atau pada waktu
tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan sembarang waktu. Contohnya, orang
Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dari ayah; sedangkan orang Jawa
menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan kakak dari ayah.[5]
3.
Dari segi penilaian baik dan buruk:
a.
Adat yang shahih, yaitu adat
yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan
dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur. Contohnya, memberi hadiah
kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara
halal bihalal (silaturrahmi) saat hari raya; memberi hadiah sebagai
suatu penghargaan atas suatu prestasi.
b.
Adat yang fasid, yaitu adat
yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan
dengan agama, undang-undang negara daan sopan santun. Contohnya, berjudi untuk
merayakan suatu peristiwa; pesta dengan menghidangkan minuman haram; membunuh
anak perempuan yang baru lahir; kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah). [6]
C. Kedudukan ‘Urf sebagai dalil Syara’
Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf
shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan Syara’.
Ulama’ Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama’ Madinah
dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa
pendapat ulama’ Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’i terkenal
dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau
menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul
qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan
bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak
mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil
syara’ didasarkan atas argumen-argumen berikut ini:
Firman Allah pada surah al-A’raf
ayat 199
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang bodoh”.
Melalui ayat di atas Allah
memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang
disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin
sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan
watak manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran
Islam.
Ucapan sahabat Rasulullah SAW;
Abdullah bin Mas’ud:
فَمَا رَاَهُ
المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَارَاَهُ المُسْلِمُوْنَ
سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْئٌ
Artinya: “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin
adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di
sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di
atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa
kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan
dengan tuntunan umum syari’at Islam adalah juga merupakan sesuatu yang baik di
sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan
dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam pada itu, Allah berfirman pada surat
al-Maidah ayat 6:
مَا يُرِيدُ
اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
Adat yang
benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara’ dan putusan perkara.
Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan
bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa
yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan
mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.
Adapun adat
yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak
berarti menentang dalil Syara’ atau membatalkan hukum Syara’.
Hukum yang
didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena
masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam
hal perbedaan pendapat ini para ‘ulama fikih berkata: “Perbedaan itu adalah
pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.[7]
D. Kaidah-kaidah al-Urf
Kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan
Al-Urf diantaranya sebagai berikut:
a. مُحَكَّمَةٌ اَلْعَادَةُ
“Adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”
b. بِهَا الْعَمَلُ يُحِبُّ حُجَّةٌ النَّاسِ اِسْتِعْمَالُ
“Perbuatan
manusia yang telah tetap dikerjakan wajib beramal dengannya”
c. لْاَزْمَانِ بِتَغَيُّرِ لَاحْكَامِ تَغَيُّرَا يَنْكُرُ لَا
“Tidak dapat
dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan) dengan perubahan masa”[8]
A. Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran yang di bawa nabi-nabi yang terdahulu,
sebelum diutusnya nabi muhammd SAW. Yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka
utus kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim, nabi daud, Nabi Musa, Nabi Isa
as. [9]
Pada asas syariat yang diperuntukan Allah SWT bagi umat-umat dahulu
mempunyai asas yang sama dengan asas yang diperuntukan bagi umat nabi Muhammad
SAW., sebagai mana dinyatakan dalam Al-quran:
شَرَعَ
لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوحَيْنَا إِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا الدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ
اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ
“Dia telah
mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)[10]
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh
ayat 183:
ياَاَيُّهَا
الَّذِينَ أَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamuberpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelumkamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
B. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama
Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam
Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam
itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan
melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash
yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu.
Alasan yang di kemukakan adalah:
1. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang
disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku
kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوحَيْنَا
إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا
الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ
إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ
يُنِيْبُ
“Dia telah
mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh
mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
ثُمَّ أَوْ حَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِحْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا
وَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123). [11]
C. Pengelompokan Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an
atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad
dan dijelaskan pula dalam al-qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian
telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad.
seperti firman allah dalam surat al-an’am
(8): 146:
وَعَلَى الَّذيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ
وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
شُحُوْ مَهُمَا
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap
binatang yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka
lemaknya”.
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah
untuk orang Yahudi dahulu. kemudian dijelaskan pula dalam al-qur’an bahwa hal
itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam
surat Al-An’am (6): 145:
قُلْ
لاَأَجِدُفِيْ مَاأُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍل يَطْعَمُهُ
إِلاَّأَنْ يَكُوْنُ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْ حًاأَوْلَحْمَ خِنْزِيْرٍ
2. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadis nabi disyariatkan untuk
umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan
berlaku untuk selanjutnya.
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas
umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa’’.
Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan
diwajibkan atas umat Nabi Muhammad
3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau hadis nabi, dijelaskan
berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan
berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh.
D. Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat
dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam
Al-quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini
diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
a.
Dinasakh
syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan
semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis
tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
b.
Dianggap
syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas
kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
c.
Tidak ada
penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ‘urf
berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf”
yang artinya adalah sesuatu yang dikenal. Dan telah menjadi tradisi mereka,
baik berupa perkataan, atau perbuatan. ‘Urf juga disebut adat. Menurut istilah
para ahli syara’ tidak ada perbedaan antara `urf dan adat kebiasaan, karena kedua kata ini pengertiannya
sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi
dikenal dan diakui orang banyak.
Berdasarkan keabsahannya, `Urf ada dua macam, yaitu: `Urf
yang sahih, dan `Urf yang fasid. Berdasarkan ruang lingkup penggunaannya,
`Urf terbagi kepada:‘Urf ‘am (umum) dan ‘Urf khosh (khusus). Sedangkan berdasarkan objeknya, ‘urf terbagi dua
yaitu:‘Urf Lafzhy (ucapan) dan‘Urf Amali(perbuatan).
Jumhur ulama telah banyak berhujjah dengan ’urf. Dan yang terkenal
menggunakan ’urf ini adalah golongan Hanafiyah dan Malikiyah. Dan di antara ucapan yang masyur di kalangan ulama: ”apa yang terkenal sebagai ’urf sama dengan yang ditetapkan sebagai
syarat, dan sesuatu yang tetap karena ’urf sama dengan yang ditetapkan karena
nash”.Berkaitan dengan ’Urf, dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: “Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar
(pertimbangan) hukum”. kaidah lain: “Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum)
dengan dasar nash”.
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau
ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti
syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah.
Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-quran
dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKKA
Sanusi ahmad, sohari. Ushul fiqih. (kota depok:
PT. RajaGrafindo Persada). 2015
Shidiq saepudin. Ushul
Fiqih. (Jakarta: Prenada Media Group). 1996.
Dahlan Abd rohman. Ushul fiqih. (Jakarta: Amzah). 2010
Wahab
kholaf Abdul. Ilmu Ushul Fiqih. (
Bandung: Gema risalah press).1996.
Syafei
rahmat. Ilmu Ushul fiqih. (bandung:
CV. Pustaka setia). 1998
Masduki. Dasar-dasar ushul fiqih. (Serang:
Lembaga Penelitian IAIN SMHB). 2012
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda